PARADIGMA
PENYELESAIAN SENGKETA
PERBANKAN SYARIAH
DI INDONESIA
Oleh : Suhartono, S.Ag.,SH.,MH.
(Hakim PA Martapura)
Abstrak
Pengadilan sebagai the
first and last resort dalam penyelesaian sengketa ternyata masih dipandang
oleh sebagian kalangan hanya menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial,
belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah baru,
lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya yang mahal, tidak responsive,
menimbulkan antagonisme di antara pihak yang bersengketa, serta banyak
terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Hal ini dipandang kurang
menguntungkan dalam duniai bisnis sehingga dibutuhkan institusi baru yang dipandang
lebih efisien dan efektif.
Sebagai solusinya, kemudian
berkembanglah model penyelesaian
sengketa non litigasi, yang dianggap lebih bisa mengakomodir
kelemahan-kelemahan model litigasi dan memberikan jalan keluar yang lebih baik.
Proses diluar litigasi dipandang lebih menghasilkan kesepakatan yang win-win
solution, menjamin kerahasiaan sengketa para pihak, menghindari keterlambatan
yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah
secara komprehensif dalam kebersamaan, dan tetap menjaga hubungan baik.
Tidak dipungkiri, selain
alasan-alasan di atas, dasar pemikiran lahirnya model penyelesaian sengketa
melalui jalur non litigasi seperti BAMUI yang pada akhirnya menjelma menjadi
BASYARNAS, saat itu memang belum ada lembaga hukum yang mempunyai kewenangan
absholut karena Peradilan umum tidak menggunakan perdata Islam (fikih muamalah)
dalam hukum formil maupun materiilnya, sedangkan Peradilan Agama saat itu
sebagaimana Pasal 49 ayat (1) UU No. 7/1989, kewenangannya masih terbatas
mengenai perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Sehingga
lahirnya model BASYARNAS saat itu seakan-akan sebagai payung hukum alternatif
-jika tidak boleh dikatakan kondisi darurat-, ibarat pepatah: “tidak ada
rotan akar pun jadi”. Sedangkan saat ini kewenangan Peradilan Agama sudah
diperluas melalui UU No. 3 Tahun 2006 diantaranya adalah kewenangan mutlak mengadili perkara-perkara ekonomi syariah included
perbankan syariah, tentu saja hal ini memberikan paradigma berbeda dalam
penyelesaian sengketa perbankan syariah dibandingkan sebelum adanya
undang-undang tersebut.
Kata
Kunci: Paradigma, Penyelesaian sengketa, perbankan
syariah, arbitrase, Pengadilan Agama, BASYARNAS.
A.
Pendahuluan
Lahirnya UU
No. 7 Tahun 1992, UU No.10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 sebenarnya sudah
menjadi dasar hukum yang kuat bagi terselenggaranya perbankan syariah di
Indonesia, kendatipun masih ada beberapa hal yang masih perlu disempurnakan,
diantaranya perlunya penyusunan dan penyempurnaan ketentuan maupun
perundang-undangan mengenai operasionalisasi bank syari’ah secara tersendiri,
sebab undang-undang yang ada sesungguhnya merupakan dasar hukum bagi penerapan dual
banking system.
Keberadaan
bank syariah hanya menjadi salah satu bagian dari program pengembangan bank
konvensional, padahal yang dikehendaki adalah bank syariah yang betul-betul
mandiri dari berbagai perangkatnya sebagai bagian perbankan yang diakui secara
nasional. Karena pengembangan perbankan syariah sendiri pada awalnya ditujukan
dalam rangka pemenuhan pelayanan bagi segmen masyarakat yang belum memperoleh
pelayanan jasa perbankan karena sistem perbankan konvensional dipandang tidak
sesuai dengan prinsip syariah yang diyakini.
Pengembangan
perbankan syariah juga dimaksudkan sebagai perbankan alternatif yang memiliki
karakteristik dan keunggulan tertentu. Unsur moralitas menjadi faktor penting
dalam seluruh kegiatan usahanya. Kontrak pembiayaan yang lebih menekankan
sistem bagi hasil mendorong terciptanya pola hubungan kemitraan (mutual
investor relationship), memperhatikan prinsip kehati-hatian dan berupaya
memperkecil resiko kegagalan usaha.[1]
Selain
penyempurnaan terhadap sisi kelembagaan, perlu juga memperhatikan sisi hukum
sebagai landasan penyelenggaraannya hal ini untuk mengantisipasi munculnya
berbagai macam permasalahan dalam operasionalisasinya.
Pada awalnya
yang menjadi kendala hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah
hendak dibawa ke mana penyelesaiannya, karena Pengadilan Negeri tidak
menggunakan syariah sebagai landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan
wewenang Pengadilan saat itu menurut UU No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili
perkara perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Sehingga
kemudian untuk mengantisipasi kondisi darurat maka didirikan Badan Arbitrase
Muamalah Indonesia (BAMUI) yang didirikan secara bersama oleh Kejaksaan Agung
RI dan MUI, namun badan tersebut tidak bekerja efektif dan sengketa perdata di
antara bank-bank syariah dengan para nasabah diselesaikan di Pengadilan Negeri.[2]
Sampai saat
ini penyelesaian sengketa perbankan syariah dapat dilakukan melalui dua model,
yakni penyelesaian secara litigasi dan non litigasi. Pilihan penyelesaian
sengketa non litigasi dapat dibagi dua, yaitu arbitrase dan alternatif
penyelesaian sengketa. Dari beberapa model penyelesaian sengketa tersebut
masing-masing memiliki kekurangan dan kelebihan dan akan diuraikan lebih lanjut
dalam tulisan ini.
B. Beberapa Pilihan Penyelesaian Sengketa
Perbankan syariah di Indonesia
Pada
prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman (judicial
Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan yudikatif (Pasal 24
UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang memeriksa dan mengadili
sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah kekuasaan kehakiman yang
berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 UU No. 14 Tahun 1970 secara tegas
menyatakan bahwa yang berwenang dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya
badan-badan peradilan yang dibentuk berdasarkan undang-undang. Diluar itu tidak
dibenarkan karena tidak memenuhi syarat formal dan official serta
bertentangan dengan prinsip under the authority of law. Namun
berdasarkan Pasal 1851,1855,1858 KUHPdt, Penjelasan Pasal 3 UU No. 14 Tahun
1970 serta UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa, maka terbuka kemungkinan para pihak menyelesaikan sengketa dengan
menggunakan lembaga selain pengadilan (non litigasi), seperti arbitrase
atau perdamaian (islah)[3]. Untuk
memperjelas masing-masing kelebihan dan kelemahan baik model penyelesaian
sengketa melalui jalur litigasi maupun non litigasi maka perlu ditelaah satu
persatu:
1. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui
Jalur Non Litigasi
Di Indonesia,
penyelesaian sengketa melaui jalur non litigasi di atur dalam satu pasal, yakni
Pasal 6 UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa.
1.1 Arbitrase
Dalam
perspektif Islam arbitrase dapat disepadankan dengan istilah tahkim. Tahkim
berasal dari kata hakkama, secara etimologis berarti menjadikan seseorang
sebagai pencegah suatu sengketa. Pengertian tersebut erat kaitannya dengan
pengertian menurut terminologisnya.[4] Lembaga
ini telah dikenal sejak zaman pra Islam. Pada masa itu, meskipun belum terdapat
sistem peradilan yang terorganisir, setiap ada perselisihan mengenai hak milik,
waris dan hak-hak lainnya seringkali diselesaikan melalui bantuan juru damai atau
wasit yang ditunjuk oleh masing-masing pihak yang berselisih.[5]
Gagasan
berdirinya lembaga arbitrase Islam di Indonesia, diawali dengan bertemunya para
pakar, cendekiawan muslim, praktisi hukum, para kyai dan ulama untuk bertukar
pikiran tentang perlunya lembaga arbitrase Islam di Indonesia. Pertemuan ini
dimotori Dewan Pimpinan MUI pada tanggal 22 April 1992. Setelah mengadakan
beberapa kali rapat dan setelah diadakan
beberapa kali penyempurnaan terhadap rancangan struktur organisasi dan
prosedur beracara akhirnya pada tanggal 23 Oktober 1993 telah diresmikan Badan
Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI),[6] sekarang
telah berganti nama menjadi Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS) yang
diputuskan dalam Rakernas MUI tahun 2002. Perubahan bentuk dan pengurus BAMUI
dituangkan dalam SK MUI No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003
sebagai lembaga arbiter yang menangani penyelesaian perselisihan sengketa di
bidang ekonomi syariah.
Kedudukan BASYARNAS Ditinjau Dari Segi
Tata Hukum Indonesia
UU No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 10 ayat
(1) menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan
Tata Usaha Negara. Namun demikian, di dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1)
undang-undang tersebut disebutkan antara lain, bahwa:
“Penyelesaian perkara di
luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap
diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk eksekusi (executoir)
dari pengadilan”
Selama ini yang dipakai
sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan
Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering,
Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia yang diperbaharui (Het
Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen
Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,
Staatsblad 1927:227).
Dengan
diberlakukannya UU No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, melalui Pasal 81 undang-undang tersebut secara tegas
mencabut ketiga macam ketentuan tersebut terhitung sejak tanggal
diundangkannya. Maka berarti segala ketentuan yang berhubungan dengan
arbitrase, termasuk putusan arbitrase asing tunduk pada ketentuan UU No. 30
Tahun 1999, meskipun secara lex spesialis ketentuan yang berhubungan
dengan (pelaksanaan) arbitrase asing telah diatur dalam UU No. 5 Tahun 1968
yang merupakan pengesahan atas persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian
Perselisihan Antar-Negara dan Warga Negara Asing mengenai penanaman modal (International
Centre for the Settlement of Investment Disputes (ICSID) Convention),
Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan New York Convention
1958 dan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990.[7]
Menurut
pendapat H.M. Thahir Azhari, bahwa kehadiran Arbitrase Islam (BASYARNAS pen.)
di Indonesia merupakan suatu condition sine qua non, secara yuridis
formal kedudukan BASYARNAS dalam Tata Hukum Indonesia memiliki landasan hukum
yang kokoh.[8]
Kewenangan BASYARNAS
BASYARNAS
sebagai lembaga permanen yang didirikan oleh Majelis Ulama Indonesia berfungsi
menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat yang timbul dalam
hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa. Pendirian lembaga ini awalnya
dikaitkan dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia dan Bank Perkreditan
Rakyat Syariah.
Disamping itu
badan ini dapat memberikan suatu rekomendasi atau pendapat hukum (bindend
advice), yaitu pendapat yang mengikat tanpa adanya suatu persoalan tertentu
yang berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian” yang sudah barang tentu atas
permintaan para pihak yang mengadakan perjanjian untuk diselesaikan.[9]
Apabila jalur
arbitrase tidak dapat menyelesaian perselisihan, maka lembaga peradilan adalah
jalan terakhir sebagai pemutus perkara tersebut. Hakim harus memperhatikan
rujukan yang berasal dari arbiter yang sebelumnya telah menangani kasus
tersebut sebagai bahan pertimbangan dan untuk menghindari lamanya proses
penyelesaian.
Keunggulan dan Kekurangan
BASYARNAS
BASYARNAS
memiliki keunggulan-keunggulan, diantaranya[10]:
1). Memberikan kepercayaan kepada para pihak,
karena penyelesaiannya secara terhormat dan bertanggung jawab;
2). Para pihak
menaruh kepercayaan yang besar pada arbiter, karena ditangani oleh orang-orang
yang ahli dibidangnya (expertise);
3). Proses pengambilan putusannya cepat, dengan
tidak melalui prosedur yang berbelit-belit serta dengan biaya yang murah;
4). Para pihak
menyerahkan penyelesaian persengketaannya secara sukarela kepada orang-orang
(badan) yang dipercaya, sehingga para pihak juga secara sukarela akan
melaksanakan putusan arbiter sebagai konsekuensi atas kesepakatan mereka
mengangkat arbiter, karena hakekat kesepakatan itu mengandung janji dan setiap
janji itu harus ditepati;
5). Di dalam proses arbitrase pada hakekatnya
terkandung perdamaian dan musyawarah. Sedangkan musyawarah dan perdamaian
merupakan keinginan nurani setiap orang.
6).
Khusus untuk kepentingan Muamalat Islam dan transaksi melalui Bank Muamalat Indonesia
maupun BPR Islam, Arbitrase Muamalat (BASYARNAS pen.) akan memberi peluang bagi
berlakunya hukum Islam sebagai pedoman penyelesaian perkara, karena di dalam
setiap kontrak terdapat klausul diberlakuannya penyelesaian melalui BASYARNAS.
Disamping
keunggulan-keunggulan di atas juga terdapat beberapa kelemahan. Apabila melihat
perkembangan BASYARNAS yang belum maksimal untuk mengimbangi pesatnya
perkembangan lembaga keuangan syariah di Indonesia, sebaiknya BASYARNAS
melakukan perapihan manajemen dan SDM yang ada. Apabila dibandingkan dengan
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan Badan Arbitrase Pasar Modal
Indonesia (BAPMI) yang relative baru berdiri, maka BASYARNAS masih harus
berbenah diri. Untuk dapat menjadi lembaga yang dipercaya masyarakat, maka
harus mempunyai performance yang baik, mempunyai gedung yang
representative, administrasi yang baik, kesekretariatan yang selalu siap
melayani para pihak yang bersengketa, dan arbiter yang mampu membantu
penyelesaian persengketaan mereka secara baik dan memuaskan. Kondisi intern
yang baik tersebut akan bertambah baik apabila didukung dengan law
enforcement dari pemerintah tentang putusan yang final and binding
dalam penyelesaian sengketa di arbitrase.
Selain itu sosialisasi
kebeadaan lembaga ini masih terbatas, menurut penulis upaya sosialisasi dalam
rangka penyebarluasan informasi dan meningkatkan pemahaman mengenai arbitrase
syariah dapat dilakukan secara kontinyu yang melibatkan banker, alim ulama,
tokoh masyarakat, pengusaha, akademisi dan masyarakat secara umum.
Keterbatasan
Jaringan kantor BASYARNAS di daerah hal ini juga menjadi kelemahan karena
BASYARNAS baru beroperasi di Jakarta,
pengembangan jaringan kantor BASYARNAS diperlukan dalam rangka perluasan
jangkauan pelayanan kepada masyarakat.
1.2 Alternatif
Penyelesaian Sengketa
Di dalam
terminologi Islam dikenal dengan Ash-Shulhu, yang berarti memutus
pertengkaran atau perselisihan. Dalam pengertian syariat ash-shulhu
adalah suatu jenis akad (perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa)
antara 2 (dua) orang yang bersengketa.[11]
Alternatif
penyelesaian sengketa hanya diatur dalam satu pasal, yakni Pasal 6
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
sengketa yang menjelaskan tentang mekanisme penyelesaian sengketa. Sengketa
atau beda pendapat dalam bidang perdata Islam dapat diselesaikan oleh para
pihak melaui Alternative Penyelesaian Sengketa yang didasarkan pada iktikad
baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi.
Apabila
sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan, maka atas kesepakatan tertulis para
pihak, sengketa atau beda pendapat diselesaikan melalui bantuan seseorang atau
lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator. Apabila para pihak
tersebut dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dengan bantuan seorang
atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang mediator tidak berhasil juga
mencapai kata sepakat, atau mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah
pihak, maka para pihak dapat menghubungi lembaga Alternative Penyelesaian Pengketa
untuk menunjuk seorang mediator.
Setelah penunjukan
mediator oleh lembaga Alternative Penyelesaian Sengketa, dalam waktu paling
lama 7 (tujuh) hari usaha mediasi harus sudah dapat dimulai.
Usaha
penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui mediator tersebut dengan
memegang teguh kerahasiaan, dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus
tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah
pihak yang terkait. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda pendapat secara
tertulis adalah final dan mengikat para pihak untuk dilaksanakan dengan iktikad
baik serta wajib didaftarkan di Pengadilan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak penandatanganan. Kesepakatan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat tersebut wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak penandatanganan.
Tidak seperti
arbiter atau hakim, seorang mediator tidak membuat keputusan mengenai sengketa
yang terjadi tetapi hanya membantu para pihak untuk mencapai tujuan mereka dan
menemukan pemecahan masalah dengan hasil win-win solution.[12] Tidak
ada pihak yang kalah atau yang menang, semua sengketa diselesaikan dengan cara
kekeluargaan, sehingga hasil keputusan mediasi tentunya merupakan konsensus
kedua belah pihak. Pemerintah telah mengakomodasi kebutuhan terhadap mediasi
dengan megeluarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 02 Tahun 2003 tentang
Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Kecenderungan
memilih Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resulotion)
oleh masyarakat dewasa ini didasarkan pada:[13]
1. Kurang percayanya pada
sistem pengadilan dan pada saat yang sama kurang dipahaminya keuntungan atau
kelebihan sistem arbitrase di banding pengadilan, sehingga masyarakat pelaku
bisnis lebih mencari alternative lain dalam upaya menyelesaikan
perbedaan-perbedaan pendapat atau sengketa-sengketa bisnisnya;
2. Kepercayaan masyarakat
terhadap lembaga arbitrase mulai menurun yang disebabkan banyaknya
klausul-klausul arbitrase yang tidak berdiri sendiri, melainkan mengikuti
dengan klausul kemungkinan pengajuan sengketa ke pengadilan jika putusan
arbitrasenya tidak berhasil diselesaikan.
Model yang
dikembangkan oleh Alternatif Penyelesaian Sengketa memang cukup ideal dalam hal
konsep, namun dalam prakteknya juga tidak menutup kemungkinan terdapat
kesulitan jika masing-masing pihak tidak ada kesepakatan atau wanprestasi
karena kesepakatan yang dibuat oleh para pihak dengan perantara mediator tidak
mempunyai kekuatan eksekutorial.
Apabila jalur
arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa tidak dapat menyelesaikan
perselisihan, maka lembaga peradilan atau jalur litigasi adalah gawang terakhir
sebagai pemutus perkara.
2. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui
Jalur Litigasi
Mengenai badan
peradilan mana yang berwenang menyelesaikan perselisihan jika terjadi sengketa
perbankan syariah memang sempat menjadi perdebatan di berbagai kalangan apakah
menjadi kewenangan Pengadilan Umum atau Pengadilan Agama karena memang belum
ada undang-undang yang secara tegas mengatur hal tersebut, sehingga
masing-masing mencari landasan hukum yang tepat.
Dengan diamandemennya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama oleh Undang-Undang Nomor
3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, maka perdebatan mengenai siapa yang berwenang untuk
menyelesaikan sengketa perbankan syariah sudah terjawab.
Landasan Yuridis dan Kompetensi
Pengadilan Agama
Amandemen
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 memberikan wewenang kekuasaan Peradilan Agama
bertambah luas, yang semula sebagaimana diatur dalam Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 hanya bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang : a) perkawinan, b) kewarisan, wasiat dan hibah yang dilakukan
berdasarkan hukum Islam, dan c) wakaf dan shadaqah. Dengan adanya amandemen
Undang-Undang tersebut, maka ruang lingkup tugas dan wewenang Peradilan Agama
diperluas. Berdasarkan Pasal 49 huruf (i) UU No. 3 Tahun 2006 Pengadilan Agama
bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ditingkat
pertama antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang ekonomi syari’ah
yang meliputi: a) bank syari’ah, b) lembaga keuangan mikro syari’ah, c)
asuransi syari’ah, d) reasuransi syari’ah, e) reksa dana syari’ah, f) obligasi
syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah, g) sekuritas syari’ah,
h) pembiayaan syari’ah, i) pegadaian syari’ah, j) dana pensiun lembaga keuangan
syari’ah, dan k) bisnis syari’ah.[14]
Dalam
penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan: “Yang dimaksud dengan
“antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum
yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam
mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai ketentuan
Pasal ini.”
Dari
penjelasan Pasal 49 tersebut, maka seluruh nasabah lembaga keuangan dan lembaga
pembiayaan syariah, atau bank konvensional yang membuka unit usaha syariah
dengan sendirinya terikat dengan ketentuan ekonomi syariah, baik dalam
pelaksanaan akad maupun dalam penyelesaian perselisihan.
Adapun
sengketa di bidang ekonomi syariah yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama
adalah:[15]
- Sengketa di bidang ekonomi syariah antara lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah dengan nasabahnya;
- Sengketa di bidang ekonomi syariah antara sesame lembaga keuangan dan lembaga pembiayaan syariah;
- Sengketa di bidang ekonomi syariah antara orang-orang yang beragama Islam, yang mana akad perjanjiannya disebutkan dengan tegas bahwa kegiatan usaha yang dilakukan adalah berdasarkan prinsip-prinsip syariah.
Selain dalam
hal kewenangan sebagaimana diuraikan di atas, Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 juga
mengatur tentang kompetensi absolute (kewenangan mutlak) Pengadilan Agama. Oleh
karena itu, pihak-pihak yang melakukan perjanjian berdasarkan prinsip syariah
(ekonomi syariah) tidak dapat melakukan pilihan hukum untuk diadili di
Pengadilan yang lain. Apalagi, sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UU
No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, pilihan hukum telah dinyatakan dihapus.[16]
Oleh karena
itu dalam draft-draft perjanjian yang dibuat oleh beberapa perbankan syariah
berkaitan dengan perjanjian pembiayaan murabahah, akad mudharabah dan akad-akad
yang lain yang masih mencantumkan klausul Penyelesaian sengketa di Pengadilan
Negeri apabila BASYARNAS tidak dapat menyelesaikan sengketa maka seharusnya
jika mengacu pada Penjelasan Umum UU No. 3 Tahun 2006 alenia ke-2, maka klausul
tersebut dirubah menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam menyelesaikan
sengketa tersebut.
Keunggulan dan Kelemahan
Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Melalui Pengadilan Agama
Keunggulan-keunggulan
Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah antara lain:
- Pengadilan Agama memilki SDM yang sudah memahami permasalahan syariah, tinggal meningkatkan wawasan dan pengetahuan mereka melalui pendidikan dan pelatihan secara berkala;
- Kendatipun RUU tentang ekonomi syariah belum disahkan namun Pengadilan Agama mempunyai hukum materiil yang cukup established, khususnya yag berkaitan dengan ekonomi syariah, diantaranya berupa kitab-kitab fikih muamalah yang dalam penerapannya masih kontekstual;
- Keberadaan kantor Pengadilan Agama hampir meliputi semua wilayah Kabupaten dan Kotamadia di seluruh wilayah Indonesia dan sebagian besar telak mengaplikasikan jaringan Teknologi Informasi (TI) dengan basis internet, sehingga apabila dibandingkan dengan BASYARNAS yang keberadaannya masih terkonsentrasi di wilayah ibukota, maka Pengadilan Agama mempunyai keunggulan dalam kemudahan pelayanan.
- Mendapat dukungan mayoritas penduduk Indonesia, yaitu masyarakat muslim yang saat ini sedang mempunyai semangat tinggi dalam menegakkan nilai-nilai agama yang mereka anut;[17]
- Adanya dukungan politis yang kuat karena pemerintah dan DPR telah menyepakati perluasan kewenangan Peradilan Agama tersebut pada tanggal 21 Februari 2006 sehingga lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 adalah suatu keniscayaan untuk menyesuaikan terhadap tuntutan hukum yang ada, yakni perubahan paradigma dari peradilan keluarga menuju peradilan modern[18].
- Adanya dukungan dari otoritas Perbankan (Bank Indonesia) dan dukungan dari Lembaga Keuanan Islam di seluruh dunia[19];
Disamping
adanya kelebihan dan keunggulan di atas, Peradilan Agama juga memiliki beberapa
kelemahan terhadap kewenangannya dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah
–khususnya perbankan syariah- yaitu:
- Belum ada regulasi atau peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang ekonomi syariah, sehingga dengan adanya beragam rujukan kitab hukum, dimungkinkan akan muncul putusan yang berdisparitas dalam kasus yang sama. Hal ini bukan saja membingungkan umat, tetapi juga tidak menguntungkan dalam dunia bisnis, sehingga dikhawatirkan memunculkan sikap trauma bagi para pelaku ekonomi syariah untuk berperkara di Pengadilan Agama.
- Aparat Peradilan Agama yang sebagian besar mempunyai background disiplin ilmu syariah dan hukum kurang memahami aktifitas ekonomi baik yang besifat mikro maupun makro, juga kegiatan di bidang usaha sektor riel, produksi, distribusi dan konsumsi;
- Aparat Peradilan Agama masih gagap terhadap kegiatan lembaga keuangan syariah sebagai pendukung kegiatan usaha sektor riel, seperti: Bank Syariah, Asuransi Syariah, Pegadaian Syariah, Multifinance, Pasar Mdal dan sebagainya;
- Pencitraan inferior terhadap Peradilan Agama yang dipandang hanya berkutat menangani masalah NCTR sulit dihapus, hal ini merupakan dampak dari kurangnya dukungan dari lembaga-lembaga terkait untuk mensososialisasikan UU No. 3 Tahun 2006.
- Sebagian besar kondisi gedung Kantor Pengadilan Agama dan sarana maupun prasarananya yang ada belum merepresentasikan sebagai lembaga yang mempunyai kewenangan mengadili para bankir dan para pelaku bisnis, oleh karenanya untuk merubah paradigma sebagai lembaga peradilan yang modern maka hal ini mutlak harus diperbaiki dan ditunjang oleh anggaran yang memadai untuk tahun-tahun yang akan datang;
- Performace aparat peradilan yang kurang meyakinkan, terutama dari segi penampilan dan cara berpakaian mereka yang masih sangat sederhana, hal ini semata-mata karena kesejahteraan mereka yang kurang memadai, sehingga dengan rencana tunjangan khusus bagi aparat peradilan diharapkan bukan saja meningkatkan performance mereka, tetapi lebih dari itu adalah untuk meningkatkan kinerja aparat peradilan demi menuju lembaga peradilan yang adil, jujur, berwibawa dan bebas korupsi sebagaimana amanat reformasi.
- Adanya aparat peradilan terutama sebagian hakim yang masih gaptek (gagap teknologi) menjadi kendala tersendiri bagi mereka yang akan menyelesaikan sengketa ekonomi syariah, karena pengetahuan ekonomi syariah bagi para hakim harus selalu up to date tentunya harus didukung oleh kemampuan mereka dalam mengakses informasi dari berbagai media terutama melalui internet. Untuk mengantisipasi hal tersebut nampaknya BADILAG cepat tanggap sehingga terus menggalakkan dengan lomba TI (Teknologi Informasi) bagi Peradilan Agama di seluruh Indonesia, himbauan BADILAG tesebut telah mendapatkan respon positif dan sebagian besar Peradilan Agama di seluruh Indonesia, hal ini terbukti dengan telah terbentuknya Tim TI di sebagian besar daerah-daerah yang jauh dari ibukota. Setidaknya adanya sayembara TI yang diadakan oleh BADILAG tersebut untuk memberikan stimulus bagi para aparat peadilan agama untuk berlomba-lomba mengakses informasi melalui internet.
C. Penutup
Mengingat
segala kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh lembaga peradilan, oleh
sebagian kalangan Peradlan Agama dipandang oleh sebagian kalangan sebagai
lembaga pilihan terbaik.[20]
Penambahan
kewenangan Peradilan Agama di bidang ekonomi syariah sebagaimana amanat UU No.
3 Tahun 2006 adalah suatu bentuk kepercayaan terbesar terhadap lembaga
peradilan yang secara politis sejak zaman kolonial Belanda selalu
didiskreditkan dan didiskriminasikan.
Momentum ini
hendaknya dipandang sebagai amanah yang harus dilaksanakan dengan
sebaik-baiknya, karena ini adalah pertaruhan bagi citra Peradilan Agama itu
sendiri. Apabila kepercayaan ini tidak disia-siakan dan dijawab dengan kinerja
yang memuaskan, maka ini bukan saja momentum bersejarah, namun menjadi tonggak
baru yang menentukan perjalanan sejarah Peradilan Agama ke depan. Apabila
kepercayaan itu sudah terbangun, Peradilan Agama mungkin saja akan diberi
amanat baru yang lebih besar –sekedar mengingatkan Mahkamah syar’iyah di Aceh
telah diberi kewenangan khusus untuk melaksanakan peradilan dibidang jinayah
(pidana Islam)- mungkin juga hal ini akan berimbas pada perluasan kewenangan Peradilan
Agama secara signifikan di waktu-waktu yang akan datang.
Stigma yang
melekat pada Pengadilan Agama sebagai lembaga yang inferior sedikit demi
sedikit akan terkikis dengan sendirinya apabila seluruh komponen Peradilan
Agama saling bahu membahu untuk menunjukkan kinerja bagus dan mendedikasikan
sebagai persembahan terbaik bagi negeri ini yang tak juga surut dirundung duka.
Amien
DAFTAR
PUSTAKA
Ariyanto dkk., Tak
Sekadar Menangani Kawin Cerai (Kolom Hukum), Trust Majalah Berita ekonomi
dan Bisnis Edisi 27 Tahun IV, 17-23 April 2006.
Coulson, NJ. 1991. a History of Islamic Law,
Edinburg University Press.
Manan, Abdul. 2007. Beberapa Masalah Hukum dalam
Praktek Ekonomi Syariah, Makalah Diklat Calon Hakim Angkatan-2 di Banten.
Margono, Suyud. 2000. ADR dan Arbitrase (Proses
Pelembagaan dan Aspek Hukum), Jakarta:
Ghalia Indonesia.
M. Thaher, Asmuni. Kendala-kendala Seputar
Eksistensi Perbankan Syariah di Indonesia, MSI-UII.Net-3/9/2004
Perwataatmaja, Karnaen dkk. 2005. Bank dan Asuransi
Islam di Indonesia, Jakarta:
Prenada Media.
Rosyadi, A. Rahmat. 2002. Arbitrase dalam Perspektif
Islam dan Hukum Positif, Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Sabiq, Sayyid. 1997. Fikih Sunnah (Terjemahan Jilid 13), Bandung: PT. Al-Ma’arif.
Suhartono, Prospek
Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional, www.Badilag.net diakses tgl. 31-10-2007
Sumitro, Warkum. 2004. Asas-Asas Perbankan Islam
& Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah di
Indonesia), Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Syafe’i, Rachmat. Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan syariah, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm
Usman, Rachmadi. 2002. Aspek-Aspek Hukum Perbankan
Islam di Indonesia, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti.
Widjaja, Gunawan dan Ahmad Yani. 2000. Hukum
Arbitrase, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
[1] Rachmat Syafe’I, Tinjauan
Yuridis Terhadap Perbankan syariah, http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm
[2] Asmuni M. Thaher, Kendala-kendala
Seputar Eksistensi Perbankan Syariah di Indonesia, MSI-UII.Net-3/9/2004
[3] Karnaen Perwataatmaja,
dkk., Bank dan Asuransi Islam di Indonesia,
(Jakarta:Prenada
Media), 2005, hal. 288.
[4] A. Rahmat Rosyadi, Arbitrase
dalam Perspektif Islam dan Hukum Positif, (Bandung:Citra Aditya Bakti), 2002, hal. 43.
[5] NJ. Coulson, a
History of Islamic Law, (Edinburg:
University Press), 1991, hal. 10).
[6] Warkum Sumitro, Asas-Asas
Perbankan Islam & Lembaga-lembaga Terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal
Syariah di Indonesia), (Jakarta:Raja
Grafindo Persada), 2004, hal. 167.
[7] Gunawan Widjaja dan
Ahmad Yani, Hukum Arbitrase, (Jakarta:PT.
Raja Grafindo Persada), 2000, Cet. I hal. v-vi.
[8] A. Rahmat Rosyadi, Op.Cit.,
hal. 117.
[9] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek
Hukum Perbankan Islam di Indonesia, (Bandung:PT.
Citra Aditya Bakti), 2002, hal. 105.
[10] Warkum Sumitro, Op.Cit.,
hal. 167-168.
[11] Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah (Terjemahan Jilid 13), (Bandung:PT.
Al-Ma’arif), 1997, hal. 189.
[12] Karnaen Perwataatmadja
dkk., Op.Cit., hal. 292.
[13] Suyud Margono, ADR
dan Arbitrase (Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum), (Jakarta:Ghalia
Indonesia),
2000, hal. 82
[14]
Suhartono, Prospek Legislasi Fikih Muamalah Dalam Sistem Hukum Nasional, www.Badilag.net tgl. 31-10-2007
[15] Abdul Manan, Beberapa
Masalah Hukum dalam Praktek Ekonomi Syariah, Makalah Diklat Calon Hakim
Angkatan-2 di Banten, 2007, hal. 8
[16] Ibid, hal. 9.
[17] Kernaen Perwataatmadja
dkk., Op. Cit. hal. 296.
[18] Ariyanto dkk., Tak Sekadar Menangani Kawin Cerai (Kolom
Hukum), Trust Majalah Berita ekonomi dan Bisnis Edisi 27 Tahun IV, 17-23
April 2006, hal 70.
[19] Abdul Manan, Op.Cit.
hal. 3.
[20] Karnaen Perwataatmadja
dkk, Op.Cit, hal. 296.
No comments:
Post a Comment