HUKUM ISLAM,
FIQIH DAN SYARIAH
I.
PENDAHULUAN
Ijtihad merupakan upaya untuk menggali
suatu hukum yang sudah ada pada zaman Rasulullah SAW. Hingga dalam
perkembangannya, ijtihad dilakukan oleh para sahabat, tabi’in serta masa-masa
selanjutnya hingga sekarang ini. Meskipun pada periode tertentu apa yang kita
kenal dengan masa taqlid, ijtihad tidak diperbolehkan, tetapi pada masa periode
tertentu pula (kebangkitan atau pembaharuan), ijtihad mulai dibuka kembali.
Karena tidak bisa dipungkiri, ijtihad
adalah suatu keharusan, untuk menanggapi tantangan kehidupan yang semakin
kompleks problematikanya.Sekarang, banyak ditemui perbedaan-perbedaan madzab
dalam hukum Islam yang itu disebabkan dari ijtihad.
Misalnya bisa dipetakan Islam
kontemporer seperti Islam liberal, fundamental, ekstrimis, moderat, dan lain
sebagainya. Semuanya itu tidak lepas dari hasil ijtihad dan sudah tentu
masing-masing mujtahid berupaya untuk menemukan hukum yang terbaik. Justru
dengan ijtihad, Islam menjadi luwes, dinamis, fleksibel, cocok dalam segala
lapis waktu, tempat dan kondisi. Dengan ijtihad pula, syariat Islam menjadi
“tidak bisu” dalam menghadapi problematika kehidupan yang semakin kompleks.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian ijtihad
2.
Pengertian hukum dan macam-macam hukum
3.
Kriteria mujtahid
4.
Masalah taqlid
5.
Ittiba’
6.
Talfiq
III.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada.
Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut
bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan.
Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara
berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah
mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional
dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum.[1]
Sementara Imam al-Amidi mengatakan
bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’
yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan
kemampuannya itu.[2]
Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari
definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Imam Syafi’I menegaskan bahwa
seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia
belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam
permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia
sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I
hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan
sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai
aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi
orang banyak.
Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih
dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang
faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa
penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan
yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut
istilah.[3]
Dalam definisi lain, dikatakan bahwa
ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’
dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul.
Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan
dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap
sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam
yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama
telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai
akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh
yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).[4]
2.
Pengertian hukum
Hukum Islam
adalah sistem hukum yang bersumber dari wahyu agama, sehingga istilah hukum Islam
mencerminkan konsep yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan konsep, sifat
dan fungsi hukum biasa. Seperti lazim diartikan agama adalah suasana spiritual
dari kemanusiaan yang lebih tinggi dan tidak bisa disamakan dengan hukum. Sebab
hukum dalam pengertian biasa hanya menyangkut soal keduniaan semata.[5]
Sedangkan Joseph Schacht mengartikan hukum Islam sebagai totalitas perintah
Allah yang mengatur kehidupan umat Islam dalam keseluruhan aspek menyangkut
penyembahan dan ritual, politik dan hukum.[6]
Terkait tentang sumber hukum,
kata-kata sumber hukum Islam merupakan terjemahan dari lafazh Masadir al-Ahkam.
Kata-kata tersebut tidak ditemukan dalam kitab-kitab hukum Islam yang ditulis
oleh ulama-ulama fikih dan ushul fikih klasik. Untuk menjelaskan arti sumber
hukum Islam, mereka menggunakan al-adillah al-Syariyyah. Penggunaan mashadir
al-Ahkam oleh ulama pada masa sekarang ini, tentu yang dimaksudkan adalah
searti dengan istilah al-Adillah al-Syar’iyyah.
Yang dimaksud Masadir al-Ahkam adalah
dalil-dalil hukum syara yang diambil (diistimbathkan) daripadanya untuk
menemukan hukum. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para
ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam
yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para
Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an,
Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).
Sedangkan sumber hukum Islam yang
masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di
atas adalah istihsan, maslahah mursalah, istishab, ‘uruf, madzhab as-Shahabi,
syar’u man qablana.
Dengan demikian, sumber hukum Islam
berjumlah sepuluh, empat sumber hukum yang disepakati dan enam sumber hukum
yang diperselisihkan. Wahbah al-Zuhaili menyebutkan tujuh sumber hukum yang
diperselisihkan, enam sumber yang telah disebutkan di atas dan yang ketujuh
adalah ad-dzara’i. Sebagian ulama menyebutkan enam sumber hukum yang masih
diperselisihkan itu sebagai dalil hukum bukan sumber hukum, namun yang lainnya
menyebutkan sebagai metode ijtihad.
Hukum Islam[7]
mengalami perkembangan yang pesat di periode Nabi Muhammad di mana tradisi Arab
pra-Islam yang berhubungan dengan akidah dihilangkan, sedangkan tradisi lokal
Arab yang berhubungan dengan muamalah–sejauh masih sejalan dengan nilai-nilai
Islam, dipertahankan dan diakulturasikan. Namun dalam perjalanannya, hukum
Islam mengalami pergolakan dan kontroversi yang luar biasa ketika dihadapkan
dengan kondisi sosio-kultural dalam dimensi tempat dan waktu yang berbeda. Menurut hemat
penulis, hukum Islam meliputi syariat (al-Qur’an dan sunnah) sebagai sumber
primer dan fiqh yang diambil dari syariat yang pada dasarnya digunakan sebagai
landasan hukum.[8]
Adapun spesifikasi dari macam-macam
hukum Islam, fuqaha memberi formulasi di antaranya wajib, sunnah, haram, makruh
dan mubah.
a. Wajib
Ulama memberikan banyak pengertian
mengenainya, antara lain suatu ketentuan agama yang harus dikerjakan kalau
tidak berdosa. Atau Suatu ketentuan jika ditinggalkan mendapat adzab. Contoh,
Shalat subuh hukumnya wajib, yakni suatu ketentuan dari agama yang harus
dikerjakan, jika tidak berdosalah ia. Alasan yang dipakai untuk menetapkan
pengertian diatas adalah atas dasar firman Allah swt: Dirikanlah shalat dari
tergelincir matahari sampai malam telah gelap dan bacalah Al Qur’an di waktu
Fajar, sesungguhnya membaca Al Qur’an di waktu Fajar disaksikan (dihadiri oleh
Malaikat yang bertugas di malam hari dan yang bertugas di siang hari).
b. Sunnah
Suatu perbuatan jika dikerjakan akan mendapat
pahala, dan jika ditinggalkan tidak berdosa. Atau bisa anda katakan
sebagai suatu perbuatan yang diminta oleh syari’ tetapi tidak wajib, dan
meninggalkannya tidak berdosa.
c. Haram
Suatu ketentuan larangan dari agama yang tidak
boleh dikerjakan. Kalau orang melanggarnya, berdosalah orang itu.
d. Makruh
Arti makruh secara bahasa adalah dibenci.
Suatu ketentuan larangan yang lebih baik tidak dikerjakan dari pada dilakukan.
Atau meninggalkannya lebih baik dari pada melakukannya.
e. Mubah
Arti mubah itu adalah dibolehkan atau sering
kali juga disebut halal. Satu perbuatan yang tidak ada ganjaran atau siksaan
bagi orang yang mengerjakannya atau tidak mengerjakannya atau segala sesuatu
yang diidzinkan oleh Allah untuk mengerjakannya atau meninggalkannya tanpa
dikenakan siksa bagi pelakunya.
3.
Kriteria mujtahid
Seseorang yang menggeluti bidang fiqh
tidak bisa sampai ke tingkat mujtahid kecuali dengan memenuhi beberapa syarat,
sebagian persyaratan itu ada yang telah disepakati, dan sebagian yang lain
masih diperdebatkan. Adapun syarat-syarat yang telah disepakati adalah:
a. Mengetahui al-Quran
Al-Qur’an adalh sumber hukum Islam
primer di mana sebagai fondasi dasar hukum Islam. Oleh karena itu, seorang
mujtahid harus mengetahui al-Qur’an secara mendalam. Barangsiapa yang tidak
mengerti al-Qur’an sudah tentu ia tidak mengerti syariat Islam secara utuh.
Mengerti al-Qur’an tidak cukup dengan piawai membaca, tetapi juga bisa melihat
bagaimana al-Qur’an memberi cakupan terhadap ayat-ayat hukum. Misalnya
al-Ghazali memberi syarat seorang mujtahid harus tahu ayat-ayat ahkam berjumlah
sekitar 500 ayat.
Ø Mengetahui Asbab al-nuzul
Mengetahui sebab turunnya ayat
termasuk dalam salah satu syarat mengatahui al-Qur’an secara komprehensif,
bukan hanya pada tataran teks tetapi juga akan mengetahui secara
sosial-psikologis. Sebab dengan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan
memberi analisis yang komprehensif untuk memahami maksud diturunkannya teks
Quran tersebut kepada manusia.
Imam as-Syatibi dalam bukunya
al-Muwafaqaat mengatakan bahwa mengetahui sebab turunnya ayat adalah suatu
keharusan bagi orang yang hendak memahami al-Qur’an. Pertama, suatu pembicaraan
akan berbeda pengertiannya menurut perbedaan keadaan. Kedua, tidak mengetahui
sebab turunnya ayat bisa menyeret dalam keraguan dan kesulitan dan juga bisa
membawa pada pemahaman global terhadap nash yang bersifat lahir sehingga sering
menimbulkan perselisihan.[9]
Ø Mengetahui nasikh dan mansukh
Pada dasarnya hal ini bertujuan untuk
menghindari agar jangan sampai berdalih menguatkan suatu hukum dengan ayat yang
sebenarnya telah dinasikhkan dan tidak bisa dipergunakan untuk dalil.
b. Mengetahui as-sunnah
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus
mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau
ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
-
Mengetahui ilmu diroyah hadits
Ilmu diroyah menurut al-Ghazali adalah
mengetahui riwayat dan memisahkan hadis yang shahih dari yang rusak dan hadis
yang bisa diterima dari hadis yang ditolak. Seorang mujtahid harus mengetahui
pokok-pokok hadis dan ilmunya, mengenai ilmu tentang para perawi hadis,
syarat-syarat diterima atau sebab-sebab ditolaknya suatu hadis, tingkatan kata
dalam menetapkan adil dan cacatnya seorang perawi hadis, dan lain hal-hal yang
tercakup dalam ilmu hadis, kemudian mengaplikasikan pengetahuan tadi dalam
menggunakan hadis sebagai dasar hukum.
Ø Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini
dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang
sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis yang
membolehkan nikah mut’ah di mana hadis tersebut sudah dinasakh secara pasti
oleh hadis-hadis lain.
Ø Mengetahui asbab al-wurud hadis
Syarat ini sama dengan seorang mujtahid yang
seharusnya menguasai asbab al-nuzul, yakni mengetahui setiap kondisi, situasi,
lokus, serta tempus hadis tersebut ada.
c. Mengetahui bahasa Arab
Seorang mujtahid wajib mengetahui
bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam,
teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak lepas dari bahwa
teks otoritatif Islam itu diturunkan menggunakan bahasa Arab.
d. Mengetahui tempat-tempat ijma’
Bagi seorang mujtahid, harus
mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak
terjerumus memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia
harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan
dengan nash tersebut. Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa
bertentangan dengan ijma’ para ulama selama hasil ijtihadnya maslahat bagi
manusia.
e. Mengetahui ushul fiqh
Di antara ilmu yang harus dikuasai
oleh mujtahid adalah ilmu ushul fiqh, yaitu suatu ilmu yang telah diciptakan
oleh para fuqaha utuk meletakkan kaidah-kaidah dan cara untuk mengambil
istimbat hukum dari nash dan mencocokkan cara pengambilan hukum yang tidak ada
nash hukumnya. Dalam ushul fiqh, mujtahid juga dituntut untuk memahami qiyas
sebagai modal pengambilan ketetapan hukum.
f.
Mengetahui maksud dan tujuan syariah
Sesungguhnya syariat Islam diturunkan untuk
melindungi dan memelihara kepentingan manusia. Pemeliharaan ini dikategorikan
dalam tiga tingkatan maslahat, yakni dlaruriyyat (apabila dilanggar akan
mengancam jiwa, agama, harta, akal, dan keturunan), hajiyyat (kelapangan hidup,
missal memberi rukshah dalam kesulitan), dan tahsiniat (pelengkap yang terdiri
dari kebiasaan dan akhlak yang baik).
g. Mengenal manusia dan kehidupan sekitarnya
Seorang mujtahid harus mengetahui tentang
keadaan zamannya, masyarakat, problemnya, aliran ideologinya, politiknya, agamanya
dan mengenal hubungan masyarakatnya dengan masyarakat lain serta sejauh mana
interaksi saling mempengaruhi antara masyarakat tersebut.
h. Bersifat adil dan taqwa
Hal ini bertujuan agar produk hukum yang telah
diformulasikan oleh mujtahid benar-benar proporsional karena memiliki sifat
adil, jauh dari kepentingan politik dalam istinmbat hukumnya.
i.
Adapun ketentuan-ketentuan yang masih
dipersilihkan adalah mengetahui ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, dan mengetahui
cabang-cabang fiqh.
4.
Taqlid
Dalam bahasa yang sederhana, taqlid
adalah sebuah masa atau tindakan di mana ijtihad dilarang untuk dilakukan. Dan
pada masa ini lebih memberikan aspek legal-formal pada ulama-ulama yang telah
memberikan produk hukumnya masing-masing. Sehingga pada periode ini, Islam
lebih terpetak-petak dalam madzab-madzab tertentu yang menjadi panutan.
Periode taqlid
ini bermulai sekitar pertengahan abad 4 H atau
abad 10 M. Pada masa ini pula
terdapat beberapa faktor, yaitu faktor politik, intelektual, moral, dan sosial yang mempengaruhi kebangkitan umat islam
dan menghalangi aktivitas mereka dalam pembentukan hukum atau
perundang-undangan hingga terjadinya kemandekan. Gerakan ijtihad dan upaya
perumusan undang-undang sudah berhenti. Semangat kebebasan dan kemerdekaan
berpikir para ulama sudah mati. Mereka tidak lagi menjadikan Alquran dan Sunnah
sebagai sumber utama, akan tetapi justru mereka sudah merasa puas dengan cara
bertaqlid. Semua pengaruh yang mendatang itu menolak kemerdekaan berpikir dan
menyeretnya kepada taqlid, menjadi pengikut Abu Hanifah, pengikut Malik,
pengikut asy syafi’i atau pengikut Ahmad saja.
Mereka membatasi
diri dalam batas-batas lingkungan madzhab-madzhab itu. Kesungguhan mereka
ditujuan untuk memahami lafad-lafad dan perkataan imam-imam saja, bukan lagi
untuk mmahami nash-nash itu sendiri. Oleh karenanya berhentillah masa tasyri’
dan bekulah masa pembinaan hukum, padahal masa selalu terus berputar, setiap
detik baru terjadi transisi, setiap transisi membawa peristiwa yang menimbulkan
masalah baru yang membutuhkan hukum.
5.
Ittiba’
Menurut ulama ushul, ittiba’ adalah
mengikuti atau menuruti semua yang diperintahkan, yang dilarang, dan dibenarkan
Rasulullah SAW. Dengan kata lain ialah melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam
sesuai dengan yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW. Definisi lainnya, ittiba’
ialah menerima pendapat seseorang sedangkan yang menerima itu mengetahui dari
mana atau asal pendapat itu. Ittiba’ ditetapkan berdasarkan hujjah atau nash.
Ittiba’ adalah lawan taqlid.
Ulama berbeda pendapat, ada yang
membolehkan ada yang tidak membolehkan. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan bahwa
ittiba’ itu hanya dibolehkan kepada Allah, Rasul, dan para sahabat saja, tidak
boleh kepada yang lain. Pendapat yang lain membolehkan berittiba’ kepada para
ulama yang dapat dikatagorikan sebagai ulama waratsatul anbiyaa (ulama pewaris
para Nabi).[10]
6.
Talfiq
Menurut istilah, talfiq ialah
mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan
mengambilnya dari berbagai macam madzhab. Contoh nikah tanpa wali dan saksi
adalah sah asal ada iklan atau pengumuman. Menurut madzhab Hanafi, sah nikah
tanpa wali, sedangkan menurut madzhab Maliki, sah akad nikah tanpa saksi.
Pada dasarnya talfiq dibolehkan dalam
agama, selama tujuan melaksanakan talfiq itu semata-mata untuk melaksanakan
pendapat yang paling benar setelah meneliti dasar hukum dari pendapat itu dan
mengambil yang lebih kuat dasar hukumnya. Ada talfiq yang tujuannya untuk
mencari yang ringan-ringan saja, yaitu mengikuti pendapat yang paling mudah
dikerjakan sekalipun dasar hukumnya lemah. Talfiq semacam ini yang dicela para
ulama. Jadi talfiq itu hakekatnya pada niat.
IV.
KESIMPULAN
Ijtihad adalah sebuah usaha yang
dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan berbagai metode yang diterapkan beserta
syarat-syarat yang telah ditentukan untuk menggali dan mengetahui hukum Islam
untuk kemudian diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan ijtihad
dilakukan adalah upaya pemenuhan kebutuhan akan hukum karena permasalahan
manusia semakin hari semakin kompleks di mana membutuhkan hukum Islam sebagai
solusi terhadap problematika tersebut. Jenis-jenis ijtihad adalah ijma’, qiyas,
istiqsan, maslahah mursalah, istishab, syar’u man qoblana, ‘urf, dan lain
sebagainya.
V.
PENUTUP
Demikian makalah ijtihad dalam mata
kuliah Ushul Fiqh II yang diampu oleh bapak Musahadi HAM, yang tentunya masih
jauh dari kesempurnaan. Pemakalah sadar bahwa ini merupakan proses dalam
menempuh pembelajaran, untuk itu pemakalah mengharapkan kritik serta saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah saya. Harapan pemakalah semoga makalah ini
dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, Ijtihad dalam Pandangan
Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan Muhammad Iqbal, Jakarta: PT Bulan
Bintang, 1990
Basyir, Ahmad Azhar, dkk, Ijtihad
dalam Sorotan, Bandung: Penerbit Mizan, 1988
Lismanto dalam Pembaharuan Hukum
Islam Berbasis Tradisi: Upaya Meneguhkan Universalitas Islam dalam Bingkai
Kearifan Lokal
Qardawi,Yusuf, Ijtihad dalam Syariat
Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987
Ramadan, Said, Islamic Law, It’s Scope and Equity, alih bahasa Badri Saleh dengan judul Keunikan dan Keistimewaan Hukum
Islam (Jakarta: Firdaus, 1991)
Schacht, Joseph, An Introduction To Islamic Law (Oxford: The
Clarendon Press, 1971)
Syafe’i, Rachmat dalam Ilmu Ushul
Fiqih
Zuhri, Saifudin, Ushul Fiqh: Akal
Sebagai Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009
[1] Irsyad al-Fuhul dalam Yusuf
Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1987,
hal. 2.
[2] Al-Amidi, al-ihkam fi ushul
al-ahkam, dalam Yusuf Qardawi, Ijtihad dalam Syariat Islam, Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1987, hal. 2.
[3] Ibid, hal. 5
[4] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih
[5] Said Ramadan, Islamic Law, It’s Scope and Equity, alih bahasa Badri
Saleh dengan judul Keunikan dan Keistimewaan Hukum Islam (Jakarta: Firdaus,
1991), hal. 7.
[6] Joseph Schacht, An
Introduction To Islamic Law (Oxford: The Clarendon Press, 1971), hal. 1.
[7] Penulis akan menggunakan redaksi “hukum Islam” sebagai keseluruhan hukum
syari’at yang sifatnya hukum Tuhan (devine law) dan fiqih yang sifatnya
profan (proses ijtihad ulama fuqaha dari syari’at itu sendiri). Sikap ini
berbeda dengan pandangan Joseph Schacht yang mengidentikkan hukum Islam (the
law of Islam) dengan syari’at, dan berbeda dengan Hasbi Ashshiddieqy yang
mendekatkan hukum Islam dengan fiqih. Hukum Islam dalam makalah ini mencakup
kedua-duanya, yakni syari’at dan fiqih.
[8] Lismanto dalam Pembaharuan Hukum
Islam Berbasis Tradisi: Upaya Meneguhkan Universalitas Islam dalam Bingkai
Kearifan Lokal
[9] Op.cit., hal. 14-15.
[10] http://ahmadfuadhasan.blogspot.com
pada 3 Maret 2012
No comments:
Post a Comment